Maritim – “Jika kita ingin menjadi bangsa pemenang, bangsa yang disegani, bangsa yang dihormati, di kawasan ini dan dunia, kita harus memiliki kekuatan maritim yang kuat. Termasuk kapal-kapal dagangnya, kapal-kapal perikanannya. Siapa yang menguasai laut, akan menguasai dunia”.
Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli dalam berbagai kesempatan. Hal itu sejurus dengan statemen Joko Widodo atau Jokowi pada pelantikan dirinya sebagai Presiden RI, 20 Oktober 2014. Kala itu, ia menyatakan bahwa Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban Indonesia.
Seruan dan ajakan presiden Jokowi tersebut menandai gerak perubahan paradigma negeri kepulauan yang selama ini telah lama memunggungi lautnya. Bagi sebagian di antara kita, melihat dan mendefinisikan Indonesia sebagai negara kepulauan berpangkal pada pandangan bahwa Indonesia adalah negeri kepulauan dengan jumlah kepulauan sekian belas ribu dan dibatasi oleh lautan yang memisahkannya.
Pengertian dan definisi ini menurut saya memiliki kekurangan, ketika kita ingin meletakkannya sebagai suatu wilayah teritorial negara dan bangsa yang memiliki kekuatan gerak dinamis dalam sejarah perkembangannya.
Dalam Pidato Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, 10 November 2014, Dr Hilmar Farid yang kini menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan menyatakan bahwa, “Kita perlu narasi sejarah yang tidak sekedar mengagungkan masa lalu tapi bisa menggambarkan pergulatan sosial. Pergulatan kuasa diantara kekuatan sosial, dari masa ke masa. Pergulatan itulah yag membawa kita sampai pada keadaan seperti sekarang. Kita perlu memahami kekuatan apa yang membuat kita secara kolektif bergerak memunggungi laut karena hanya dengan begitu kita bisa memahami apa yang harus dilakukan untuk bergerak ke arah sebaliknya. Inilah fungsi sejarah sebagai kritik.”
“Kita belajar tentang Majapahit, tapi bukan tentang kejayaannya di masa lalu, melainkan mengenai pergulatan kekuatan yang memungkinkannya muncul sebagai kerajaan yang besar dan kemudian runtuh sehingga menimbulkan arus balik yang hebat dalam sejarah”.
“Kita belajar tentang pelaut Mandar bukan sekedar untuk mengagumi kehebatannya berlayar tapi untuk memahami bagaimana mereka bisa bertahan hidup sebagai komunitas matirim di tengah gerak memunggungi laut yang semakin menguat. Kita belajar tentang orang Bajo dan Suku Laut bukan karena keunikan sejarah dan budaya mereka yang terkesan eksotik, tetapi karena dalam pandangan dunia merekalah kita bisa menemukan landasan untuk membayangkan negeri maritim di masa mendatang.”
‘Archipelagic State’: Negara Laut yang Ditaburi Pulau-Pulau
Negara kepulauan, yang merupakan serapan dari ‘archipelagic state’, dalam bahasa asalnya dari Yunani: arch (besar, utama) dan pelagos (laut). Menurut maestro sejarah maritim Asia Tenggara, Adrian Bernard Lapian, ‘archipelagis state’ sebenarnya harus diartikan sebagai ‘negara laut utama’ yang ditaburi pulau-pulau, bukan negara pulau-pulau yang di kelilingi laut.
“Dengan demikian, paradigma perihal negara kita seharusnya terbalik, yakni negara laut yang ada pulau-pulaunya”, Adrian B Lapian dalam buku Orang Laut, Bajak Laut dan Raja Laut”.
Poros Maritim Dunia
Jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa ke negeri kaya rempah ini, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil sebagai penjelajah samudra. Catatan sejarah Tiongkok dan musafir dari Timur Tengah meyebutkan penjelajahan laut yang dilakukan nenek moyang bangsa Indonesia.
Menurut Robert Dick-Read, seorang Afrikanis yang menulis buku “Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika (2008)”, para penjelajah laut dari Nusantara diperkirakan sudah menjejakkan kaki mereka di Benua Afrika melalui Madagaskar sejak masa-masa awal tarikh Masehi.
Jadi, jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus melakukan pelayaran yang fenomenal ke berbagai belahan dunia hingga ke negeri ini, para penjelajah laut Nusantara bisa dikatakan sudah melintasi sepertiga bola dunia.
Menurut catatan Oliver W Wolters (1967) dalam kompas.com menunjukkan bahwa hubungan perdagangan melalui laut antara Indonesia dan China—juga antara China dan India Selatan serta Persia—pada abad V-VII, terdapat indikasi bahwa bangsa China hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia.
Dalam “Tradisi Besar yang Dilupakan”, Kompas.com mencatat bahwa seorang pengelana dari China,I-Tsing, yang banyak menyumbang informasi terkait masa sejarah awal Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut Indonesia. Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 Masehi) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.
Pergaulan dengan dunia internasional yang terjalin pada era kerajaan di nusantara ini setidaknya juga dapat kita temui dalam sejarah yang berkaitan dengan keberadaan relief kapal bercadik yang ada di Candi Borobudur. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai relief kapal bercadik di Candi Borobudur tersebut, namun jejak peradaban bangsa ini dengan bangsa lain telah lama dijalin dalam sejarahnya.
Dalam konteks ini, Poros Maritim Dunia yang ditetapkan oleh Presiden Jokowi melalui Lima Pilar Poros Maritim layak untuk kita luaskan dukungan dan partisipasi aktifnya dari rakyat Indonesia.
Dalam pidatonya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-9 East Asia Summit (EAS) tanggal 13 November 2014 di Nay Pyi Taw, Myanmar, Presiden Jokowi menegaskan bahwa Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia sehingga agenda pembangunan akan difokuskan pada 5 (lima) pilar utama, yaitu membangun kembali budaya maritim Indonesia, menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama, memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim.
Yang ketiga adalah menerapkan diplomasi maritim, melalui usulan peningkatan kerja sama di bidang maritim dan upaya menangani sumber konflik, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut dengan penekanan bahwa laut harus menyatukan berbagai bangsa dan negara dan bukan memisahkan. Dan yang terakhir adalah membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.
Perkembangan Indonesia Menjadi Poros Maritim Dunia
Komitmen dari Pemerintahan Jokowi untuk menempatkan lautan sebagai masa depan bangsa maritim ini dibuktikan dengan dibentuknya kementerian baru dalam kabinetnya. Kementerian Koordinator Bidang Maritim. Komitmen dan konsistensi pemerintahan Jokowi ini mulai terlihat hasilnya dengan adanya peningkatan jumlah tangkapan ikan oleh nelayan kita paska pemberantasan ‘illegal fishing’ oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
Tak berhenti disini, kebijakan pemberantasan ‘illegal fishing’ melalui penenggelaman kapal tersebut diikuti dengan pembembangunan industri perikanan nasional. Nelayan mulai diberikan modal kerja dan kapal baru (3.500 kapal hingga 2019). Kesejahteraan nelayan mulai diperhatikan dengan pemberian 1 juta BPJS Kesehatan dan juga BPJS Ketenagakerjaan yang kini sedang dalam proses penyelesaian admnistrasinya.
Kini, setelah hampir dua tahun sang nahkoda membawa nafas perubahan di negeri maritim ini, beberapa kebijakannya untuk mewujudkan Lima Pilar Poros Maritim telah mulai nampak perkembangannya. Tol Laut yang dibangun sebagai sarana mewujudkan konektivitas antar daerah atau wilayah sudah mampu menurunkan harga kebutuhan pokok masyarakat di Indonesia Timur.
Sementara itu, pilar poros maritim Indonesia dalam bidang diplomasi Internasional, Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli melakukannya dengan berbagai bentuk dari proses koordinasi dengan lembaga dan kementerian terkait ataupun melakukan pertemuan-pertemuan secara langsung dengan Dubes-Dubes dari negara-negara lain.
Sejak dilantik sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli telah memulai diplomasi maritim dengan Timor Leste mengenai batas teritorial, dengan Malaysia membentuk CPOPC (Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Sawit), dengan Belgia menjajaki kerjasama di sektor pariwisata dan pelabuhan, dengan Swiss menjajaki kerjasama pariwisata, energi hingga transportasi massal.
Tak hanya itu, Menko Rizal Ramli juga telah menjalin berbagai pertemuan di kantornya untuk membangun kerjasama di sektor maritim dengan Dubes China Xie Feng, Dubes Denmark Casper Klynge, Dubes Perancis Corinne Breuze, Dubes Rusia Mikhail Y Galuzin, Duta Besar Jepang Yasuaki Tanizaki, dan banyak tokoh penting lainnya dari mancanegara.
Terakhir ini, Menko Rizal Ramli yang sedang menghadiri Conference of the Ocean at Lisboa, Portugal, menyampaikan gagasan “Sustainable Ocean dan Blue Economy”. Gagasan Menko Rizal Ramli tentang Sustainable Ocean ini pernah ia sampaikan ketika melakukan kunjungan kerjanya di Banyuwangi, 9 April, yang lalu.
“Rakyat harus didorong untuk mencintai laut, karena laut adalah masa depan kita. Oleh karena itu, kita sedang mengembangkan apa yang disebut dengan ‘sustainable ocean’,” pesan Menko Rizal Ramli saat penyerahan kartu BPJS Ketenagakerjaan kepada seribu nelayan Banyuwangi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muncar, Banyuwangi.
“’Sustainble ocean’ itu di antaranya dengan membuka kampung wisata nelayan yang hijau. ‘Green fishing village’. Hal ini untuk mengatasi tak menentunya hasil laut. Kita mendorong adanya penambahan penghasilan bagi nelayan di darat,” tambahnya.
Ya, untuk menjadi bangsa maritim yang besar, kita tak dapat hanya bertumpu semata kepada lautannya saja. Namun juga perlu untuk meletakkan dasar kehidupan masyarakat yang ada di daratan agar dapat mengembangkan perekonomiannya.
Di sinilah sesungguhnya pepatah “berikan kail bukan ikan” memperoleh kenyataan. Gagasan Menko Rizal Ramli yang selama ini menginginkan pertumbuhan ekonomi rakyat yang produktif akan terbuka jalannya.
Dalam sebuah kesempatan, Menko Rizal Ramli menyatakan bahwa Tol Laut yang digagas oleh Presiden Jokowi bukan hanya bermakna lalu lalang kapal-kapal di perairan nusantara, namun lebih daripada itu Tol Laut adalah terbangunnya konektivitas antar pulau di negeri maritim yang menciptkan pertumbuhan dan menggerak ekonomi di wilayah-wilayah pesisir atau pinggiran.
Salah satu kebijakan untuk mendorong dan menggerakkan ekonomi wilayah pinggiran ini adalah keputusan Presiden Jokowi dalam mengembangkan Blok Masela di darat.
Dalam rangka meningkatkan konektivitas antar wilayah, pada akhir tahun 2015 dan awal 2016, pemerintahan Jokowi telah selesai dibangun 27 pelabuhan laut. Pemerintah juga telah selesai membangun 4 Pelabuhan Penyeberangan, 7 Bandara Baru, dan 12 Bandara Pemugaran. Selain itu, pemerintah juga membangun 68 pelabuhan laut lagi yang tersebar di Maluku, Papua, NTT, dan Sulawesi (Setkab.go.id)
Kebangkitan Bangsa Maritim di Abad 21, Abadnya Asia
Setelah menghadiri Conference of the Ocean at Lisboa, Portugal, 3 Juni 2016, Menko Rizal Ramli menulis status di twitternya @RamliRizal. Kata dia, dengan penduduk kurang dari 1 juta, pada abad 16, tapi kuat maritim, Portugal menguasai Brazil, Angola, Mozambik, Macau, Timtim. “Rule the sea, rule the World,” tegas dia.
Menurut saya, apa yang dituliskan oleh Menko Rizal Ramli diatas menyiratkan pesan yang pernah ia sampaikan kepada peserta Ekspedisi Maritim GMT 2016 yang lalu bahwa “Siapa yang menguasai laut, akan menguasai dunia”.
Menko Rizal yang kini juga sedang giat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional di tengah kelesuan ekonomi global melalui pengembangan 10 destinasi pariwisata unggulan, sesungguhnya sedang mengajak kita semua mewujudkan pilar poros maritim yang pertama: ‘Membangun Kembali Budaya Maritim Indonesia’.
Menko Rizal Ramli yang saya kenal memang sosok yang memiliki pengetahuan luas di berbagai bidang karena hobi membaca buku sejak kecil. Tak ayal ketika berbicara tentang suatu hal, ia sering melengkapinya dengan referensi sejarah. Terang saja, misalnya ketika Menko Rizal Ramli mencanangkan Danau Toba dan Candi Borobudur diantara 10 destinasi pariwisata nasional, ia memberikan referensi sejarah dua tempat itu.
Sejarah negeri lautan yang ditaburi oleh pulau-pulau ini, menurut saya, oleh Menko Rizal Ramli sedang didorong untuk mengubah paradigma dalam perannya di pergaulan antar bangsa. Secara geopolitik, posisi Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar ke 4 di dunia dan posisi geografisnya berada dalam pertemuan dua samudera besar yang merupakan jalur perdagangan utama sejak lama, harus aktif menunjukkan peran strategisnya dalam peradaban dunia di Abad 21 ini.
Membaca beberapa langkah kerja yang dilakukan oleh Menko Rizal Ramli di Kabinet Jokowi sejak dilantik bulan Agustus 2015, layak untuk dikatakan bahwa “di dalam negeri ia membangun fondasi perekonomian rakyat yang menjadi garis keberpihakan Presiden Jokowi, di luar negeri ia membangun diplomasi maritim untuk mengembalikan kejayaan maritim Indonesia”.
Menurut Menko yang memiliki pengalaman internasional sebagai anggota Panel Ahli PBB bersama tiga penerima hadiah Nobel dan lima ekonom terkemuka di dunia ini, “laut adalah sumber makanan, protein, obat-obatan. Laut adalah pertahanan, jalur strategis perdagangan dan international ‘leverage’”.
Diplomasi maritim yang dilakukan oleh Menko Rizal Ramli melalui bentuk komunikasi story telling ini mengandung sarat makna tentang paradigma baru yang ia perjuangkan agar bangsa kita tak lagi menjadi bangsa pasar. Menko Rizal Ramli sesungguhnya sedang mengajak kita semua berperan aktif untuk mewujudkan diplomasi maritim untuk menjadi bangsa produktif.
Menjadi bangsa maritim seperti era kejayaannya yang berlayar ke belahan dunia lain dengan berbagai komoditi unggulan (rempah) namun tetap menjaga kedaulatannya ditengah-tengah rakyat di dalam negeri.
Menurut saya, melalui partisipasi aktif rakyat yang sadar dan kritis, gagasan ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Ya, seperti apa yang disampaikan oleh Menko Rizal Ramli dalam status Twitternya pada 5 Juni kemarin @RamliRizal. “’Rule the sea, rule the world’. Spanyol, Portugal abad 16. Inggris abad 18 dan 19. Amerika abad 20. Abad 21 Abad Asia. Indonesia harus kuasai laut jika ingin digdaya”. Saya yakin akan mulai terbuka jalan lebar.
Oleh Agus Prianto, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)